OPA, NPM DAN NPS DALAM BINGKAI TEORI
DAN PENERAPANNYA
(Materi Kuliah Teori Administrasi Publik, Dr. Sutomo, M.Si)
Denhardt dan Denhardt dalam karyanya The New Public Service : Serving, Not Steering (2003) menyatakan
bahwa dalam perjalanan administrasi publik sebagai disiplin ilmu dan seni (pengalaman
pelaksanaan lapangannya) sedang bergelut dengan tiga pendekatan besar
(mainstream), yaitu : old public
administration, the new public management, dan new public service.
Istilah bergelut itu
sendiri menunjukkan bahwa ketiga pendekatan tersebut diadopsi untuk
pelaksanaan administrasi negara di suatu
Negara (termasuk Indonesia), sehingga yang perlu untuk dikritisi adalah konteks
lingkungan untuk penerapan pendekatan itu sendiri. Konteks lingkungan yang patut
untuk dicermati adalah kondisi lingkungan social, budaya, ekonomi, politik,
keamanan dan keadaan geografis wilayah dari suatu Negara. Ini berarti bahwa
konteks lingkungan suatu Negara adalah
dinamis sebagai hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara yang
bersangkutan.
Denhardt dan Denhardt (2003:11) menggambarkan sembilan
unsur tentang pandangan pokok
dari Old Publik Administrasi, yaitu :
1.
The focus of government is on the direct of services through
existing or through newly authorized agencies of government.
Focus dari pekerjaan
pemerintah adalah pada memberikan pelayanan secara langsung melalui agennya
baik yang lama ataupun yang baru yang diberi kewenangan untuk melaksanakan
jenis pelayanan yang telah ditentukan.
2.
Public policy and administration is concerned with designing and
implementing policies focused on singgle, politically defined objective.
Administrasi dan kebijakan
public berperhatian dengan perancangan dan implementasi kebijakan yang berpusat
ke arah tungal, yaitu sasaran yang
telah didefinisikan secara politik.
3.
Public
administrators play a limited role in policy making and government; rather they
are charged with the implementation of public policies.
Ajang gerak dari administrator publik dibatasi untuk berperan
dalam pembuatan kebijakan ; mereka berurusan dengan implementasi kebijakan
public.
4.
The delivery of services should be carried out by administrators
accountable to elected officials and given limited discretion in their work.
Administrator dalam
menyampaikan pelayanan harus melaksanakan pertanggungjawabannya kepada pejabat – pejabat yang dipilih dan untuk itu mereka diberi deskresi yang terbatas
dalam pekerjaannya.
5.
Administrators are responsible to demokratically elected political
leaders.
Administrator
bertanggungjawab pada pemimpin-pemimpin politik yang dipilih secara demokratik
6. Public programs are best administered through
hirarchical organizations, with managers largely exerting control from the top of
organization.
Program-program public
diadministrasikan secara baik melalui hirararkhi organisasi, dengan
manajer-manajer yang diberi kewenangan pelaksanaan tetapi dalam kendali top
organisasi.
7.
The primary values of public organizations are efficiency and
rationality.
Nilai-nilai penting dari
organisasi public adalah rasionalitas &
efisiensi.
8.
Public organization operate most efficeintly as closed systems; thus
citizen involvement is limited.
Organisasi public
beroperasi harus secara efisien sebagai system yang tertutup, kemudian keterlibatan warga Negara dibatasi.
9.
The role of the public
administrator is largely defined as planning, organizing, staffing, directing,
coordinating, reporting, and budgeting.
Peran dari administrator
public secara luas adalah dalam ruang
lingkup POSDCOORB.
Pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam old public administration
banyak dipengaruhi oleh gagasan Woodrow Wilson (simak Denhardt, 2003:5-8).
Gagasan Woodrow Wilson dapat diketuhui dari hal-hal berikut :
- Government should establish executive authorities, controlling essentially hierarchical organization and having as their goal achieving the most reliable and efficient operations possible.
- Their tasks were (administrasi public) instead the implementation of policy and the provision of service, and in those tasks they were expected to act with neutrality and profesional to execute faithfully the direction that came their way. Not to be actively or extensively involved in the development of policy.
- They were to be watched carefully and held accountable to elected political leaders, so as not to deviate from established policy.
- Wilson recoqnized a potential danger in the other direction as wel, the possible that politics, or more specifically, corrupt politicians migh negatively influence administrator in their pursuit of organizational efficiency.
Gagasan Wilson dpt disarikan dalam dua thema besar :
- Gagasan bahwa pemisahan politik dan administrasi, dan ini sangat berpengaruh di Negara Barat hingga lebih 50 tahun lebih (gagasan Wilson pada tahun 1830). Politik harus berhubungan dengan kebijakan atau berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan Negara.
Administrasi Negara sebagai badan ekskutif melaksanakan
kebijaksanaan itu secara apolotis dan tidak memihak. Ketika kebijakan telah
ditetapkan disitulah administrasi Negara baru bekerja. Administrator Publik
harus melaksanakan accountability kepada pejabat politik yang telah terpilih
(administrators were held to be accountable to their political masters – and
only trought them to the citizenry).
- Publik administrator harus mencari efisiensi sebesar mungkin dalam operasi-operasinya dan juga mencapai efisiensi yang terbaik dalam mencapai tujuannya melalui penyatuan keseragaman dan itu harus terjadi dalam struktur hirarkikal dari manajemen admnistratatifnya yang teratur dan mantap (juklak dan juknis). Hal tersebut didukung dengan berkembangnya pandangan Frederick W. Taylor dan Lyndall Urwick & Luther Gulick. Taylor The Principles of Sceintific Management berpendapat bahwa pekerjaaan manusia lebih dapat mencapai effisiensi terbesar jika didasari pada time and motion studies. Sedangkan Urwick & Gullick dengan organization as a Technical Problem yang memperkenalkan prinsip-prinsip administrasinya dengan akronim POSDCOORB, yang dengan tegas menyatakan bahwa POSDCOORB deapat diterapkan dalam semua kondisi dan bebas ruang dan waktu. Artinya prinsip tersebut dapat dilaksanakan di semua level administrasi dan semua keadaan terlepas apakah itu di Negara sedang berkembang atau Negara maju, jika tujuannya adalah untuk mendapatkan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan administrasi seefisien dan seefektif mungkin.
Pandangan Lain (kritik)
untuk Old Public Administation saat diapilikasikan
1.
Marshall Dimock “that mechanically efficiency is “coldly
calculating and inhuman, where, successful administration is warm and vibrant (semangat yang menggelora
ketika memberi pelayanan). It is human”
2.
Baik administrator public
maupun pemimpin politik perhatiannya yang terpenting dan mulya adalah pada
isu-isu justice, liberty, freedom
and equality. Oleh karenanya, isu
tsb lebih berat dan lebih sulit dari pada effisien.
3.
Effisensi organisasi mungkin
lebih mudah terjadi jika ada keterlibatan warga Negara dalam kerja
pemerintahan.
4.
Effisiensi saja tidak cukup
tetapi juga responsiveness to concern of
citizents.
5.
Effisiensi menghendaki adanya
mekhanisme rasional dalam organisasi. Sedangkan sebelum pejabat memutuskan
sesuatu memerlukan informasi yang lengkap (komprehensif), benarkah ini sudah
terpenuhi. Dan benarkah bahwa keputusan itu sudah mengakomodasi kepentingan
organisasi dan kepentingan partisipan.
Denhardt dan Denhardt (2003) menyitir dari Donald Kettl tentang global public management reform ketika
menyampaikan arus utama yang dipandang mengilhami adanya praktek New Public Management.
Donald Kettl menyampaikan enam isu dalam reform managemen public global, yaitu
:
How can
government find ways to squeeze more service from the same or a smaller revenue
base ? Bagaimana pemerintah menemukan cara-cara untuk menekankan pelayanan
dengan dasar penerimaan pendapatan meskipun
kecil.
How can
government use market style incentive to root out the pathologi of bureaucracy
; how can traditional bureaucracy command and control mechanism be replaced with market strategies that will
change the bahavior of program manager ?.
How can
government use market mechanisms to give citizents (now often called customers)
greater choices among services – or at least encourage greater attention to
serving customers better ?
How can
government make programs responsive ?
how can government decentralize responsibility to give front-line managers
greaters incenteives to serve
How can
governmet improve its capacity to devise and track policy ? how can government
separate its role as purchace of service (a contractor) from its role in
actually delivering service ?
How can
government on out put and out comes instead of processes or structures ? how
can they replace top down, rule-driven systems with buttom-up, result-driven
systems
Ada dua karya
tulis yang dinilai penting dalam paradigma NPM, yaitu : (1) Reinventing
Government, karya David Osborn dan Ted Gaebler (1991) dan (2) Banishing
Bureaucracy, karya David Osborn & Peter Plastik (1997).
Reinventing
Government, dapat diringkas dalam sepuluh kontatasi (pernyataan ilmiah) yang
dijadikan prinsip dalam menjalankan administrasi Negara :
- Steering rather than rowing, pemerintah berperan sebagai katalisator, yang tidak perlu melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber yang ada di masyarakat. Peran pemerintah adalah mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai kepentingan public.
- Empower community to solve their own problem, rather than merely deliver service. Pemerintah berperan memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanan sehingga yang perlu dilakukan adalah mendorong masyarakat untuk dapat memecahkan masalahnya sendiri. Kemampuan tersebut dapat tercemin dari peran NGO dan badan semi pemerintah (Koperasi) untuk dapat memecahkan masalahnya dengan kemampuannya, misalnya : kebersihan lingkungan, kebutuhan sekolah, kesehatan pemukiman dsb.
- Promote and encourage competition rather than monopolies. Dengan adanya persaingan maka sector usaha swasta dan pemerintah bersaing, dan dipaksa bekerja secara lebih professional dan efisien.
- Be driven mission rather than rules. Pemerintah harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaian apa yang merupakan missinya daripada menekankan peraturan-peraturan. Oleh karenanya kelonggaran untuk menghasilkan sesuatu menjadi keperluan.
- Result oriented by funding outcomes rather than outputs. Orientasi pada kinerja yang baik (berarti kinerja eksternal) bukan semata-mata output yang dipersepsi internal.
- Meet the need of the customer rather those of the bureaucracy. Mengutamakan pemenuhan kebutuhan konsumen (masyarakat sebagai penguna), bukan memenuhi kebutuhan birokrasi.
- Concentrate on earning money rather than just spending it. Pemerintah harus mememiliki aparatur yang tahu cara yang tepat untuk menghasilkan suatu penerimaan bagi organisasi dan berkemampuan menghemat anggaran, daripada menghabiskan anggaran.
- Invest in preventing problem rather than curing crises. Pemerintah yang antisipatif, lebih baik mencegah drpd menanggulangi. Lebih baik mencegah penyakit drpad mengobati. Dengan demikian akan terjadi mental switch dalam aparat pemerintah.
- Desentralize authority rather than build hierarchi. Diperlukan desentralisasi dalam system pemerintahan sehingga mampu menggalang partisipasi dan pengembangan tim kerja. Mendorong organisasi bawahan akan leluasa untuk berkreasi dan mengambil inisiatif yang diperlukan.
- Solve problem by influencing market force rather than by treating public programs. Pemerintah harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan didasarkan kepada kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan sebaliknya (subsidi). Untuk itu kebijakan harus berdasarkan kebutuhan pasar.
Banishing
Bureaucracy, dapat diketahui dari pendapat intinya yang berisi lima strategi
untuk melaksanakan reinventing government :
- The core strategy (strategi inti). Menata kembali keorganisasian secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi.
- Consequency strategi. Strategi yang mendoerong “persaingan sehat” guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai, melalui reward and puninshment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.
- Consumer strategy. Memusatkan perhatian untuk bertanggungjawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepatian mutu bagi pelanggan.
`
- Control strategy. Merubah lokasi bentuk kendali dalam organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana atau masyarakat, Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi dan misi yang telah ditentukan. Dengan demikian terjadi proses pemberdayaan organisasi, pegawai dan masyarakat.
- Cultural strategy. Merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap budaya organisasi puiblik ini berubah (tidak lagi memandang rendah masyarakat yang seharusnya dilayani).
Ferlie,
Ashburner, Fitgerald dan Pettigrew (1997), The
new puiblik management in Action, Oxford : Oxford University Press. NPM
pada dasarnya sebagai pendekatan dalam administrasi public yang mampu
menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari dunia manajemen
bisnis dan disiplin lain untuk memperbaiki efektivitas, effisiensi, dan kinerja
pelayanan public pada birokrasi modern. Sehingga dalam aksinya dapat berpedoman
orientasi pada :
- The efficience drive. Mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja.
- Downsizing and decentralization. Mengutamakan penyederhanaan struktur memperkaya fungsi dan mendelegasikan otoritas kepada unit yang lebih kecil agr berfungsi cepat dan tepat.
- In search of excellence, mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan IPTEKS.
- Public service orientation, menekankan pada kualitas, misi dan nilai yang hendak dicapai organisasi public, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan partisipasi user dan warga masyarakat, member otoritas lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat, termasuk wakil mereka, menekankan societal learning dalam pemberian pelayanan public, dan menekankan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi dan akuntabilitas.
Sedangkan Hood
Vigoda (2003) mengutarakan tujuh (7) komponen doktrin dalam New Public
Managemen, yaitu :
- Pemahaman manajemen professional dalam sector public,
- Penggunaan indicator kinerja,
- Penekanan yang lebih besar pada control keluaran,
- Pergeseran perhatian ke unit yang lebih kecil,
- Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi,
- Penekanan gaya swasta pada praktek manajemen,
- Penekanan disiplin dan penghematan yang lebih tingi dalam penggunaan sumberdaya.
Reinventing government merupakan deskripsi
pemerintahan yang ideal yang dapat diadopsi oleh Negara untuk praktek
administrasi Negara, sedangkan Banishing Bureaucracy merupakan langkah-langkah
konkrit untuk memperbaiki birokrasi yang mampu mendorong transformasi birokrasi
untuk mampu melaksanakan entrepenueurship
yang menghasilkan jiwa dan kinerja yang
lebih optimal. Gagasan-gagasan Ferlie
dkk serta Vigoda, pada dasarnya
lebih menekankan bagaimana melaksanakan banishing bureaucracy lebih cepat dapat
dilaksanakan, karena gagasan-gagasan tersebut lebih menekankan pada tataran
operasional, apa yang sepatutnya untuk dilaksanakan oleh administrasi Negara
untuk memperbaiki birokrasi dan kinerjanya.
Jika dicermati maka kata kunci dari NPM adalah adanya
merubah mental, struktur birokrasi untuk mendapatkan produktivitas yang mempu
mengkatrol kinerja birokrasi yang dilandasi entrepenuership. Apa
entrepenuership itu ?
Osborn dan Gablier mengutip pendapat J. B. Say bahwa
entrepenuership adalah semangat yang berupaya untuk mengubah sumber-sumber ekonomi
keluar dari tingkat produktivitas yang rendah kea rah tingkat produktivitas
yang lebih tinggi dan yang menhasilkan lebih besar. Thoha (2008:77)
mewirausahakan birokrasi pemerintah bukan berarti setiap pejabat atau petugas
diharuskan berdagang atau berusaha seperti pengusaha. Atau mengajari para
pejabat pemerintah untuk beruasaha seperti para pengusaha. Melainkan adanya
upaya para pejabat disertai semua komponen instansi puplik itu senantiasa
BEKERJA KERAS UNTUK MEINGKATKAN AGAR SUPAYA SUMBER SUMBER YANG BERPOTENSI
EKONOMI YANG DIJUMPAI OLEH INSTANSI PEMERINTAHN DARI YANG TIDAK PRODUKTIF BISA
PRODUKTIF, DARI YANG PRODUKSINYA RENDAH DITINGKATKAN KE PRODUKSI YANG LEBIH
TINGI. Oleh karenanya prinsip reinventing government itu adalah
mentransformasikan kinerja dalam dunia usaha ke kinerja organisasi pemerintah.
Frederickson (1997) secara tegas menyatakan bahwa pelayanan publik
yang diberikan oleh pemerintah atau administrasi publik sepatutnya
diorientasikan kepada warga negara (citizents), warga negara dipandang tidak sekedar konsumen
atau pelanggan (customers). Pandangan warga negara sebagai pelanggan
adalah konsisten dengan interpretasi ekonomi pada kehidupan politik. Denhardt dan Denhardt (2003:57) that
government ultimately reflects the accumulated self-interests of largely
disconnected and utility maximizing individuals.
Pandangan memperlakukan
warganegara sebagai costumers, maka
tugas pemerintah adalah memuaskan pelanggan, kalimat tersebut merupakan gagasan
utama dalam paradigma The New Public Management. Dalam pandangan The
New Public Service gagasan warga
negara sebagai pelanggan sering juga menimbulkan konflik dalam tataran praktek
dan akademik, misalnya kebijakan luar negeri dan perlindungan lingkungan, maka
tidak bisa dihubungkan dengan individuals
costumers, tetapi semua
individu-individu dalam masyarakat menerima pelayanan tersebut, tidak menjadi
penting apakah mereka menginnginkan atau tidak. Dalam kasus lain, pemerintah
berkewajiban untuk melayani pendidikan wajib belajar maka tidak bisa dikatakan
bahwa anak yang berumur 7 hingga 15 tahun (usia belajar SD hingga SMTP)
dikatakan menjadi pelanggan dari institusi pendidikan negeri, lebih tepatnya
adalah kewajiban pemerintah (obligation).
Meskipun dalam pelaksanaannya pemerintah
diwajibkan juga membuat pedoman pelayanan minimalnya.
Tetapi The New Public Service
juga mengakui adanya kelebihan
pandangan dalam paradigma New
Public Management, terutama perhatian pada kinerja individu, kinerja
organisasi, inovatif, akuntabilitas dan kreatif dalam mencari pemecahan masalah
dalam upayanya meningkatkan kualitas pelayanan. Upaya tersebut nampak dari
prinsip-prinsip reinventing government,
dengan mengaplikasi semangat entreprenuership
ke adalam organisasi publik, maka prinsip custumer
driven government yang menempatkan masyarakat sebagai pelanggan yang harus
dilayani dan dipuaskan. Thoha (2008:77) reinventing government itu pada
hakekatnya adalah upaya untuk mentransformasikan jiwa dan kinerja wiraswasta (entrepreneurship) kedalam birokrasi
pemerintah. Jiwa entrepreneurship itu
menekankan pada upaya untuk meningkatkan sumber daya baik ekonomi, sosial,
budaya, politik yang dipunyai oleh pemerintah dari yang tidak produktif bisa
produktif dari yang produktivitas rendah menjadi berproduktivitas tinggi. Denhardt
dan Denhardt (2003:60) menegaskan bahwa :
Perhaps the most important
objection to the customers orientation has to do with accountability. In
government, citizents are not only customers, they are owners. There is
certainly no question but that government agencies should strive to offer the
highest quality servis possible, within the constraints of low and
accountability-and, indeed, many agencies are doing so. One of the most
sophisticated efforts to improve service quality begins with a recoqnition of
the differences between costumers and citizents.
Sebelumnya Denhardt dan Denhadrt
(2003:42-43) telah menegaskan
garis-garis besar pemikiran The New Public Service sebagai berikut
:
1.
Service citizents, not customers : the public interest is the result
of a dialogue about shared values rather
than the aggregation of individual self-interest.
2. Seek the public
intersest : public administrator
contribute to building a collective, shared notion of the publik interest.
3. Value citizenships over
entrepeneuership : the public interest is better advanced by public servants and citizent comitted to
making meaningful contributions to society than by entrepreneurship managers
acting as if public money their own.
4. Think strategically, act
democratically : policies and programs meeting public need can be must
effectively and responsibility achieved through collective efforts and
collaborative processes.
5. Recoqnize that
accountability is not simple : public servant should be attentive to more than
the market ; they should also attend to statutory and constitutional law,
community values, political norms, professional standards, and citizen interest.
6.
Serve rather than steer : it is increasingly important for public
servant to use shared, values based
leadership in helping citizents articulate and meet their shared interest
rather than attempting to control or steer society in new direction.
7.
Value people, not just productivity.
Kepentingan publik sebagai cerminan kepentingan masyarakat adalah variatif
dan dinamik sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungannya. Dalam
koteks Indonesia yang dihadapkan pada dinamika
globalisasi dan lingkungan ekonomi yang kompetitif maka pemerintah harus
bertindak secara cepat sehingga mampu mengurangi dampak negatifnya.
Persaingan global itu tidak hanya menjadi tantangan industri besar,
ternyata sekarang terbukti bahwa industri kecil juga terpengaruh dan harus
menghadapinya, yang berdampak pula pada kualitas kesejahteraan hidup
masyarakat. Dalam kaitan
tersebut maka kualitas pelayanan publik
yang berkaitan dengan industri merupakan domain dari kepentingan publik. Caiden
(Thoha, 2005:47) disiplin administrasi publik ini pada hakekatnya merupakan
suatu disiplin yang menanggapi masalah-masalah pelaksanaan persoalan-persoalan
masyarakat (public affairs) dan
manajemen dari usaha-usaha masyarakat (public
business). Administrasi publik dituntut untuk memberi jawabannya. Denhardt
dan Denhardt (2003:73) menyatakan :
The public interest based
on shared values suggests a proses that goes beyond the interplay of special
interest to include shared democratic and constitutional values. The public
interest based on shared values “consensualist”. The public interest can also
be expressed as those goals on which there is concensus and/or things that are
good for a community as a community.
Berdasar pendapat Denhardt
dan Caiden di atas maka administrator publik berkewajiban untuk berdialog
bersama dengan masyarakat untuk dapat menyaring persoalan publik dan isu-isu
publik yang menjadi domain kerjanya, merespon dan mengartikulasikannya hingga
masuk ke kebijakan publik, karena warga negara percaya dan punya keyakinan dengan
kapasitasnya. Dalam pandangan tersebut maka peran administrasi negara adalah responsiveness dan responsibility. Gary Wamsley (Denhardt, 2003:80) Instead, we should affirm a more “transcendent role” based
on a commitment to the amelioration of societal problems and improving the
quality of citizens’ lives. Dalam pandangan tersebut, maka peran administrasi
publik adalah menyediakan pelayanan publik yang dikeluhkan oleh para stakeholders dalam memfasilitasi perkembangan industri yang
ada, terutama yang ada di daerah dengan tetap berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan (justice), partisipasi
publik dan adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat.
2.1.4.3 Konsep dan Dimensi Kualitas Pelayanan Publik
Tantangan untuk mencapai pelayanan publik yang
berkualitas merupakan domain administrasi publik yang kontemporer. Artinya, sejak
berdirinya public administration yang dipelopori Woodrow Wilson (1887) dan Frank J. Goodnow
(1900) masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan suatu negara (the business of the state) dengan
mengupayakan yang seefisien dan seefektif mungkin hingga kini masih relevan
bahkan cenderung meningkat, terutana eksplorasi upaya-upayanya. Denhart dan
Denhart (2003:60) menegaskan bahwa :
There certainly no question
but that government agencies should strive to offer the highest quality service
possible, within the constrains of law and accountability-and, inded, many
agencies are doing so. One the most sophisticated efforts to improve service
quality begins with recoqnition of differeces between customers and citizent.
Citizent are described as bearers a rights and duties within the context of wider
community.
Berdasar
pendapat Denhart dan Denhart dapat
dikatakan bahwa pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik dengan
kapasitasnya harus memperjuangkan
kualitas pelayanan setinggi mungkin, dan organisasi publik sesegera
mungkin melakukannya, tetapi juga mempertimbangkan batasan hukum dan
akuntabilitas. Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan dimulai dengan
mengakui perbedaan pelanggan dan warga negara. Warga negara digambarkan sebagai
pembawa hak dan kewajiban dalam kontek komunitas yang lebih luas. Pendapat
Denhart tersebut secara jelas bahwa pelayanan publik berbeda dengan pelayanan
yang disediakan oleh organisasi privat yang mempunyai keleluasaan dalam
aktualisasi entrepenuership-nya bagi
manajer, tetapi itu berarti tidak melarang untuk mempraktekkan semangat
kewirausahaan dalam organisasi publik dan dalam menghargai pegawaipun tidak dapat dipersamakan dengan organisasi
privat. Peters (1996:71) sependapat dengan Denhart bahwa fundamentally, this approach (participative) assummes that individuals
are motivational in their organizational and political lives by
solidary-participation-incentives rather than by material – pay and perquisites
–incentives.
Kualitas pelayanan publik dapat dipandang sebagai
salah satu kinerja organisasi publik. Keban (2004:199) dalam konteks manajemen
publik baru, penilian kinerja harus dilihat sebagai upaya yang berkesinamungan
dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi publik. Dasar penilaian kinerja
tidak semata-mata pada proses yang ditempuh, perlakuan kepada bawahan atau
kepada masyarakat dan bagaimana akuntabiltas berjalan di dalam organisasi, tetapi
lebih luas lagi yaitu berkenaan dengan kualitas pelayanan, keterkaitan dengan
misi dan visi atau nilai-nilai yang diperjuangkan organisasi, kesesuaian apa
yang dikerjakan organisasi publik dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat atau
pengguna, dan sampai seberapa jauh suatu organisasi publik telah belajar
memecahkan masalah dan memperbaiki situasi yang dihadapinya. Dengan demikian,
tantangan bagi organisasi publik adalah menyusun program, mengarahkan perilaku
pegawai, dan mengarahkan sumberdaya untuk menghasilkan kinerja organisasi yang
sesuai dengan harapan-harapan masyarakat penggunanya. Tegasnya, harapan-harapan
masyarakat terhadap organisasi publik merupakan sumber inspirasional dalam
memanajemen organisasi publik sehingga kinerjanya dapat memenuhi kualifikasi
pelayanan yang berkualitas. Jika masih terdapat keluhan-keluhan dari masyarakat
terhadap pelayanan publik maka hal itu akan menjadi input yang diperlukan pada
proses transformasi pada organisasi publik.
Adiwisastra
(2004:3) menegaskan bahwa fungsi
pemerintah memberikan pelayanan publik tentu saja harus mempunyai
kualitas. Kualitas pelayanan publik dalam pemerintahan demokratis yang
berorientasi kepada publik adalah didasarkan pada harapan publik terhadap
pelayanan itu, yang berarti kualitas yang baik bukan berdasarkan persepsi
peyedia pelayanan melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan.
Gaspersz (2004:27) identifikasi terhadap pelanggan/stakeholders berkaitan
dengan mereka yang secara langsung maupun tidak langsung menggunakan jasa-jasa
pelayanan publik atau mereka yang secara lansung maupun tidak langsung terkena
dampak dari kebijakan-kebijakan organisasi publik. Stakeholder merupakan setiap orang atau kelompok yang
berkepentingan dengan tingkat kinerja atau kesesuaian dari suatu organisasi
publik, program atau subsprogramnya. Mereka mungkin saja menjadi penasehat atau
pemberi rekomendasi terhadap organisasi publik, karena mempunyai kepentingan
dengan tingkat kinerja atau kesesuaian dari organisasi publik.
Advardsson (Scheiung dan Christopher,
1993:333) mengartikan kualitas pelayanan sebagai berikut :
Quality can be defined as
the totality of features and characteristics of product or service that bear on
its ability to satisfy stated or implied need.
Service as the result generated by activities at the interface between
the supplier and the customer, and by supplier internal activities, to meet
custumer needs. A common definition of service quality is that the service
should correspond to the customer’s expectations and fulfill his or her needs
and requirement.
Dengan berdasar pendapat Advardsson
di atas, maka kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagai pelayanan yang
sebaiknya menyamai harapan-harapan pelanggan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dan yang dipersyaratkan. Jika organisasi publik yang berkehendak memberi pelayanan yang berkualitas, maka seoptimal mungkin dituntut untuk dapat
memenuhi keseluruhan segi dan karakteristik dari produk atau pelayanan yang
menunjang pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang telah dinyatakan secara tegas dan dinyatakan.
Implikasinya adalah sistem transformasi internal dan ketrampilan pegawai
diarahkan untuk memenuhi totalitas karakteristik yang telah dinyatakan.
Russell & Taylor (2000:78) mendefinisikan kualitas sebagai kemampuan
produk atau jasa memenuhi kebutuhan pelanggan. Dikatakan pula kualitas sebagai totalitas tampilan dan karakteristik
produk atau jasa yang berusaha keras dengan segenap kemampuannya memuaskan
kebutuhan tertentu. Kualitas pelayanan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu
produsen dan pelanggan atau pasar. Jika tinjauan dari sudut pandang pasar maka
penilaian kualitas diserahkan kepada pengguna, yakni sejauhmana desain
pelayanan yang dilaksanakan oleh organisasi berkemampuan memenuhi kebutuhan
pelanggan (quality of design). Pelanggan
melihat kualitas dari karakteristik yang seharusnya ia terima sehingga mencakup
value
(nilai), fitness for use (cocok
untuk digunakan), support (dukungan),
dan psychological impressions (kesan
psikologis), yang kesemuanya dipersepsi secara dinamik. Makna kualitas dari
pelanggan diperoleh dari hasil perbandingan antara harapan tentang
pelayanan (expected service) dan penilaian atas kenyataan pelayanan yang
diterima (perceved service).
Sedangkan dari sudut produsen atau penyedia produk atau jasa, maka
kualitas dilihat dari pemenuhan spesifikasi atau atribut-atribut yang telah
dipersyaratkan dan dinyatakan, termasuk ketentuan biaya-biaya yang menjadi tanggungjawab pengguna.
Pembinaan manajemen dan penggunaan
sumber daya organisasi diarahkan untuk memenuhi persyaratan yang telah
dinyatakan, pemenuhan tersebut dengan tujuan untuk memenuhi harapan pengguna
sehingga didapatkan kepuasan. Kebutuhan
yang dipersyaratkan dapat berwujud produk itu sendiri maupun proses interaksi
antara warga negara dengan aparatur birokrasi pemerintah (penyampaiannya),
seperti kesigapan dalam menerima permohonan, kesopanan, komitmen terhadap janji
penyelesaian, dan sebagainya. Akibatnya adalah organisasi tidak hanya berfokus
pada aspek transformasi saja tapi juga memperbaiki kualitas karyawan secara
keseluhan, yakni pegawai yang bersentuhan langsung dengan penyampaian layanan. Pandangan Russell dan Taylor disederhanakan dalam
gambar sebagai berikut :
Gambar 2.4 :
Makna Kualitas
versi Russell & Taylor
Sumber : Russell, Roberta S, dan
Bernard W. Taylor, 2000, Operations
Management. p.82. New Jersey : Printice-Hall Inc,
Adanya perspektif pengguna dan perspektif produsen
atau penyedia pelayanan dalam kualitas
pelayanan seharusnya tidak dipandang dalam ruang pemikaran yang diametrikal, yakni
pemikiran yang memisahkan kedua perspektif secara terpisah, karena dalam
pencapaian kualitas pelayanan tidak lepas dengan perspektif sistem. Artinya
kualitas pelayanan dari organisasi publik merupakan hasil interaksi timbal-balik
dari suatu pertukaran sumberdaya antara
lingkungan sebagai pengguna dan organisasi publik sebagai produsen. Tingkat kepuasan
yang dirasakan oleh masyarakat atas pelayanan publik akan menjadi masukan bagi
organisasi publik untuk memperbaiki kinerja dirinya, dan sebaliknya apa yang
dipersyaratkan oleh organisasi publik akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat
atau badan usaha untuk meningkatkan kinerjanya juga.
Secara normatif, pemerintah Republik Indonesia
telah berusaha untuk mendorong adanya pelayanan publik yang berkulitas dengan
tindakan memberi standar pelayanan
sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar
pelayanan merupakan ukuran yang diarahkan untuk pembakuan dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pengguna, organisasi publik. Hal
tersebut dapat dilihat dari adanya Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1995 tentang
Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat, dan
ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparartur Negara nomor
81 tahun 1995, yang menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya
sesuai dengan sendi-sendi kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan,
keterbukaan, efisiensi, keadilan yang merata, dan ketepatan waktu. Departemen
Dalam Negeri telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Surat Edaran Menteri
dalam Negeri nomor 100/757/OTDA/2002 tentang standar pelayanan minimal (SPM),
yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyediaan pelyanan
publik. SPM dalam pelayanan dasar sangat diperlukan
bagi pemerintah daerah maupun masyarakat sebagai penerima layanan. Bagi pemerintah
daerah dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan spesifikasi
karakteristik pelayanan yang diperlukan, sedangkan bagi masyarakat dapat
digunakan sebagai ukuran kuantitas maupun kualitas pelayanan publik yang
disediakan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian tujuan dari SPM adalah untuk
menjamin kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang diberikan pemerintah
kepada masyarakat.
Untuk mengkaji kualitas pelayanan yang
diberikan organisasi selayaknya
mempertimbangkan A Conceptual Model of
Service Quality dari A. Parasuraman, L.L. Berry dan V.A Zeithaml (1985),
model tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik-titik kesenjangan
pelayanan dari suatu organisasi, kemudian melakukan tindakan perbaikan dalam
upaya memberikan pelayanan yang berkualitas. Adapun
model dari Parasuraman, et al
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.5 :
A Conceptual Model of
Service Quality A versi Parasuraman, et al
Sumber : Ibrahim, Amin,
2007, Teori dan Konsep Pelayanan Publik Serta
Implementasinya. Bandung :
Mandar Madju.
Ibrahim (2008:23) menjelaskan lima kesejangan
dalam Gambar 2.4. sebagai berikut :
1) Kesenjangan pertama, dapat terjadi karena
kurang dilakukannya survei/penelitian akan kebutuhan pasar/masyarakat, atau
kerena kurang dimanfaatkannya hasil penelitian yang dilakukan serta kurang
terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dengan masyarakat.
2) Kesenjangan kedua, dapat terjadi kerena
kurangnya komitmen menajemen/pihak pemerintahan dalam upaya mewujudkan kualitas
pelayanan, kurang tepatnya persepsi terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan
pelanggan/masyarakat.
3) Kesenjangan ketiga, terjadi karena konflik
peran dari para penyelenggara pelayanan, apakah mengutamakan kepuasan pimpinan
atau masyarakat luas, personil yang tidak kompeten, bahkan lambatnya penguasaan
teknologi atau tidak sesuai dengan
tuntutan pelayanan, tidak tegasnya penerapan reward and punishment system
atau bahkan tidak ada.
4) Kesenjangan keempat, terjadi karena miskinnya komunikasi
horizontal sesama personil pelayanan, sehingga pelayanan berjalan
tersendat-sendat.
5) Kesenjangan kelima, terjadi karena
kesenjangan antara harapan dan kenyataan pelayanan yang diterima, yang
merupakan akumulasi kinerja organisasi pelayanan.
Parasuraman dalam Olsen, et al (1996: 11) mengemukakan bahwa kesenjangan kelima adalah yang harus diperhatikan karena
kesenjangan diantara kualitas pelayanan yang diberikan terhadap ekspektasi
terhadap kualitas pelayanan, yang merupakan jawaban dari definisi kualitas
pelayanan itu sendiri. Hal ini juga didasari oleh pernyataan bahwa (1) kualitas
selalu diukur berlawanan dengan ekspektasi, (2) proses pelayanan selalu
melibatkan pelanggan sebagai pemain kunci, dan (3) pelayanan prima hanya akan
muncul pada saat pelanggan juga menyatakan prima. Parasuraman, et al (Fitzsimmons, 2006:129)
mengidentifikasi adanya 5 dimensi yang digunakan oleh pelanggan untuk menilai
kualitas pelayanan, yaitu :
1.
Reliability. The ability to perform the promised service both
dependably and accurately.
2.
Responsiveness. The willingness to help customers and to provide
prompt service.
3.
Assurance. The knowledge and courtesy of employees as well as their
ability to convey trust and confidence.
4.
Empathy. The provision of caring, individualized attention to
customers.
5. Tangibles. The appearance
of physical facilites, equipment, personel, and communication materials.
Pengungkapan atribut-atribut dalam kualitas pelayanan yang
diungkapkan Parasuraman, et al,
kurang tepat untuk diterapkan dalam pelayanan perijinan yang disediakan oleh
organisasi publik, karena dimensi-dimensi tersebut lebih sesuai untuk interaksi
produsen dengan pelanggan yang mempunyai titik temu kepentingan yang bersifat
ekonomis dan kurang memperhatikan hampiran hukum dan politik. Harmon dan Mayer
(1986:37) menyatakan bahwa :
The norms or values that
operate in the sphere of public administration can be grouped into three
general areas, or normative vectors :
1) Concerns about efficiency
and effectiveness, which focus primarily on the workings of government itself
and the way its goods and services are distributed and delivery;
2) Concern about rights and
the adequate of governmental process, which direct scrutiny toward government’s
(and those acting in its name) relationship with its citizents; and
3) Concern about representation
and the exercise of discretion, which aims attention at the control that the
citizenry has over the workings of its government and its agents.
These qualities are are
determined by the peculiar combination of politics, culture, and economics
conditions in the society at particular historical time.
Organisasi publik dalam beroperasi meyediakan dan memberikan
pelayanan harus mempertimbangkan nilai-nilai atau norma-norma sebagai garis
arah normatif, yakni perhatian pada efesien dalam bekerja dan efektif dalam
mendistribusikan dan menyampaikan barang dan pelayanan, menghargai hak penduduk
dan kememadaian proses-proses pemerintahan yang diteliti secara seksama yang ditujukan
terhadap hubungan pemerintah dengan warga negaranya, menghargai pelaksanaan diskresi
dan representasi. Sehingga kualitas pelayanan publik ditentukan oleh kombinasi
yang khas dari politik, budaya, dan kondisi ekonomi dalam kehidupan
masyarakatnya. Dalam kaitan
pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik, Ndraha (1997:63) mengemukakan
bahwa :
Jasa layanan atau layanan civil dipandang sebagai
suatu deviden yang wajib didistribusikan kepaada rakyat oleh pemerintah dengan
semakin baik, semakin mudah diperoleh dan semakmin adil. Tekanan pada
aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan dalam layanan publik
(civil) tersebut berkaitan dengan sifat monopoli dari layanan (civil) dimana
masyarakat tidak memiliki pilihan untuk mengharapkan layanan yang sama pada
institusi lain diluar pemerintah.
Sedangkan dalam kaitan untuk menentukan kinerja kualitas
pelayanan publik yang diberikan oleh organisasi publik, Frederickson
(1997:234) menyatakan :
Public administration’s
commitment, in theory and practice, to standart of equity and fairness is as
important as its commitment to efficiency, economy, and effectiveness.
Following standarts of equality and fairness can bind the citizent together in
our own time and also bind us to future generations. … managing public
organizations and institution so as to enhance the prospects for change and
responsiveness.
Equity (keadilan) dan fairness
(kewajaran) secara sekilas nampak berbeda, tetapi jika ditelusuri lebih
dalam diketahui bahwa kewajaran merupakan semangat moral dari aparatur publik
untuk memperlakukan secara sama terhadap warga negara ketika memenuhi suatu
kepentingannya. Fairness is taken here to
a mean a more equal distribution of opportunities, cost, and benefits in social
and political domain. Fredeirickson (1997:144) telah menegaskan bahwa, “ let us reiterate that equity as word is used here includes conceptual
of fairness, justice, and equality. In the compound theory of social equity,
the terms fairness, justice, and equality are used interchangeably”. Dengan demikian, dimensi-dimensi kualitas
pelayanan dari organisasi publik yang dikemukakan oleh Frederickson adalah
efisiensi, ekonomi, efektif, adil, dan responsif.
Penelitian ini dalam upaya untuk mengetahui dimensi-dimensi kualitas
pelayanan perijinan izin usaha lebih mendasarkan pada pendapat Frederickson di
atas, maka untuk dapat mengetahui kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh
administrasi publik atau organisasi publik dapat dilihat dari efisien, ekonomi,
efektif, adil, dan responsivitas (daya
tanggap).
Efisien adalah aktivitas pelayanan yang diberikan dengan melakukan
pencarian perbandingan yang terbaik
antara in put yang dikeluarkan dengan out put (hasil) pelayanan. Fredireckson
(1997:58) Efficency - to achieve as much public good as possible
for the avaiable dollars - is a compelling rationale for administrative
practices. Efisiensi adalah bagaimana kita dapat menyediakan pelayanan yang
lebih banyak atau lebih baik dengan sumber-sumber daya yang tersedia. Epstein
(1988:11) efficiency refers to the ratio
of the quantity of service provide to the costs, in dollars or labor, required
to produce the service. Kedua pendapat tersebut pada dasarnya mempunyai
maksud yang sama bahwa efisiensi
merupakan hasil perbandingan antara output dengan input yang terbaik. Suatu
kegiatan atau program dari suatu organisasi dikatakan efisien apabila mampu
menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya, atau dengan input
tertentu mampu menghasilkan output sebesa-besarnya. Jika pegawai berusaha
dengan mengupayakann rasio perbandingan dalam mempergunakan sumber daya organisasi (waktu, bahan,
peralatan, tenaga dan pikiran) untuk menghasilkan jenis pelayanan yang lebih
besar dan lebih baik maka akan diperoleh efisiensi.
Dimensi ekonomi dalam kaitan pelayanan terkait dengan pengelolaan
primer sumber daya keuangan (uang/kas) menjadi input sekunder berupa tenaga
kerja, bahan, dan infrastruktur yang dipergunakan untuk kegiatan operasi
organisasi. Frederickson (1997:58) economy
– to accomplish a public goals for the
fewest possible tax dollars – is an equally beguilling objective. Dimensi
ekonomi diluar sumber daya manusia dapat dilihat dari upaya pegawai atau
organisasi untuk memperoleh bahan yang lebih baik dan lebih banyak dengan
anggaran yang tersedia. Mahmudi (2005:90) dimensi ekonomi dalam kaitan tenaga
kerja memiliki pengertian bahwa organisasi hendaknya memperoleh staf yang
memiliki kompetensi, ketrampilan, dan motivasi tinggi sesuai dengan harapan
yang tidak dikaitkan dengan gajinya. Dengan demikian, dimensi ekonomi dalam
konsep kualitas pelayanan dapat dilihat dari kemampuan organisasi untuk
mendapatkan bahan yang berkualitas dengan anggaran yang tersedia dan
mendapatkan dan mempertahan pegawai yang berkompeten.
Etzioni (1985:120 efektivitas organisasi
diukur dari tingkat sejauhmana ia berhasil mencapai tujuannya. Sedangkan Perry
(1989:621)
Effective performance of the job is the
attainment of specific result required by the job through specific actions
while maintaining or being consistent with policies, procedures, and conditions
of the organizational environment.
Kandungan makna efektif
dalam pekerjaan pelayanan publik adalah pencapaian hasil spesifik yang sesuai
dengan yang dipersyaratkan oleh jabatannya melalui tindakan spesifik yang mempertimbangkan atau konsisten dengan
kebijakan, prosedur, dan kondisi lingkungan organisasi. Dengan demikian, aparat
organisasi publik dalam memberi pelayanan selayaknya memahami kebutuhan dan
keinginan masyarakat/pemohon dengan
memanfaatkan kebijakan, prosedur dan disesuaikan dengan kondisinya.
Efektitivitas dapat dilihat dari upaya aparatur untuk pemenuhan janji yang
telah dinyatakan, ketepatan penyelesaian permohonan berdasar mekanisme dan
aturan organisasi, keterjangkaun program dalam memenuhi sasaran.
Responsivitas adalah kemampuan
organisasi pemerintah dan anggotanya untuk mengenali aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Jika organisasi tersebut berfungsi untuk melayani masyarakat, maka
responsivisitas merujuk pada kecepatan aparatur organisasi publik dalam
menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pengguna atau warga
negara. Ulrich, Quinn, dan Cameron (Perry, 1989:148-161) menyatakan :
Pressures for
responsiviness derive from public agencies’ being in “glass house” where their
services are continually reviewed and assessed by citizens. Both efficiency (to reduce the cost
of delivery service) and responsiveness (to asses which service are most
critical to the public and deliver them in a first-class manner) must compose
the mindset that administrators instill in employees.
Dengan demikian, responsivitas adalah kemauan organisasi publik dan aparaturnya untuk membuat
program dan bertindak dalam menanggapi harapan, keinginan, dan aspirasi serta
tuntutan penguna layanan/pemohon untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan,
dan proses-proses tersebut bersedia untuk dipandang dan dinilai kembali oleh
warga negara. Responsivitas dapat dilihat dari kecepatan pegawai dalam
menanggapi kesulitan atau permasalahan yang dihadapi pemohon perijinan,
kesediaan aparatur untuk memberi alternatif dalam penyelesaian permasalahan
pemohon dengan dasar aturan dan etika, kemudahan pemohon untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan, kesigapan aparatur dalam memberi koreksi/pembetulan
atas pelayanan yang disebabkan adanya kekhilafan atau kesalahan, kesediaan
menerima kritik dari pemohon perijinan.
Adil adalah cakupan atau jangkauan kegiatan dan pelayanan yang diberikan
oleh organisasi pemerintah yang diusahakan seluas mungkin dengan distribusi
yang merata dan perlakuan yang secara sama. Fredireckson (2003:60) mengajukan
pengertian adil dari Rawl, yakni adil adalah cara bagaimana lembaga-lembaga
sosial utama membagikan hak dan kewajiban fundamental dan menentukan pembagian
keuntungan dari kerjasama sosial. Lembaga-lembaga sosial utama yang dimaksudkan
adalah konstitusi politik dan aturan-aturan ekonomi dan sosial yang pokok. Dengan
berdasar pengertian tersebut, adil dalam pelayanan perijinan mengandung lima
hal, yaitu (1) persamaan dalam pemenuhan hak-hak sesuai ketentuan mekanisme
yang ada. Dalam kaitan tersebut maka mekanisme yang diterapkan adalah fisrt come fisrt serve, (2) kesamaan perlakuan dalam
penyelesaian masalah, (3) persamaan dalam pemenuhan kewajiban untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan atau aturan dalam mengajukan permohonan perijinan, (4)
adanya pembebanan biaya dan sangsi yang sama yang didasarkan atas proporsional
kemampuan ekonomi dari pemohon.
2.1.5 Hubungan Reorganisasi dengan Kualitas Pelayanan
Milakovich (1995:11) sejak tahun 1980-an para ahli pemerintahan
telah menyatakan “sounded the alarm by
identifying the lack of a consistent model of frame work for managing service
as the reason most often cited for customer dissatisfaction”. Peringatan
tersebut untuk menyadarkan administrator publik bahwa apakah model kerangka
kerangka kerja untuk mengelola pelayanan telah memenuhi harapan masyarakat,
kenyataannya model kerangka kerja yang ada telah dikeluhkan oleh masyarakat. Model
kerangka kerja merupakan pedoman bagi aparatur pemerintah untuk mentransformasi
in put menjadi out put, dan dalam proses tersebut akan menggunakan proses kerja
tertentu. Gaspersz (2005:77) pada umumnya semua produk diproduksi dan
diserahkan kepada pelanggan melalui suatu proses kerja atau proses bisnis. Suatu
proses kerja dapat didefinisikan sebagai integrasi skuensial dari orang,
material, metode, dan mesin atau peralatan, dalam suatu lingkungan guna
menghasilkan nilai tambah out put untuk pelanggan. Suatu proses kerja
mengkonversi input terukur ke dalam out put terukur melalui langkah sekuensial
yang terorganisasi.
Gaspersz (2005:4) Indonesia sebagai negara sedang berkembang
yang menuju ke negara industri perlu membangun sistem kualitas modern dan
praktek manajemen kualitas terpadu di berbagai bidang kehidupan sebagai senjata
untuk memenangkan kompetensi dalam pasar global. Manajemen kualitas terpadu
atau total quality management (TQM)
adalah sebagai